Judul Buku : Hizbut Tahrir dalam Sorotan
Penulis : Muhammad Idrus Ramli
Penerbit : Bina ASWAJA
Tebal : 146 Halaman
Cetakan : Pertama, Jumadil Akhir 1432 H/ Mei 2011 M.
Peresensi : M Kamil Akhyari *)
Membincang kedudukan Islam dalam konstitusi dan negara Indonesia, sejatinya bukan hal yang baru. Perdebatan mengenai apa yang akan menjadi prinsip pembimbing bagi negara Indonesia sudah lama terjadi. Pada bulan Juni tahun 1945 telah terjadi perdebatan berkepanjangan saat konsultasi pemimpin nasional dengan ulama untuk merumuskan Pancasila sebagai asas negara.
Ketika merumuskan sila pertama sebagai prinsip yang akan dijadikan falsafah negara, sempat terjadi perseteruan untuk memasukkan tujuh kata tambahan pada sila pertama. Namun, disukusi berkepanjangan tersebut pada akhirnya sepakat untuk membuang tujuh kata tersebut atas pertimbangan Indonesia adalah negara yang majmuk dan plural.
Akhir-akhir ini Indonesia dihadapkan dengan berbagai problem bangsa seperti kemiskinan dan kebodohan. Di tengah berbagai persoalan yang menimpa bangsa ini, pengembalian Piagam Jakarta juga jadi perbincangan serius. Berbagai persoalan yang melilit negeri ini dan tak kunjung berkesudahan tambah meyakinkan aktivis Hizbut Tahrir untuk menegakkan syariat Islam dalam bingkai negara dan bangsa. Sebagaimana keyakinan mereka, Khilafah Islamiyah adalah satu-satunya “obat” mujarab paling sakti yang dapat mengatasi segala macam “penyakit” yang sedang menghinggapi umat Islam, termasuk problem kemiskinan dan kebodohan.
Dalam rangka meyakinkan masyarakat awam, dan tegaknya negara Islam di negeri ini, tak jarang mereka berdalil dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Sekalipun mereka sering berdalih demi agama (Islam) dan mengatasnamakan diri pembela agama Tuhan, namun pemahaman mereka hanya sebatas asumsi pribadi dan interpretasi atas teks agama yang tak berpijak pada referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga, dalil yang mereka lontarkan kerap kali melenceng dari mainstream pendapat ulama klasik.
Hadits Kanjeng Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang fase-fase kepeminpinan yang disebutkan Rasulullah kerap kali dijadikan dalil khilafah al-nibuwah harus diperjuangkan dan ditegakkan dewasa ini. Padahal mayoritas ulama salaf telah menyatakan, maksud dari hadits yang mereka sering justifikasi sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah islamiyah adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz, penguasa ke delapan dalam dinasti Bani Umayah (hal. 8-9).
Tak hanya sampai disitu, dalam rangka tegaknya khilafah islamiyah, sebagai simbol pemersatu umat, mereka kerap kali melakukan pengkafiran (tafkir) terhadap seluruh umat Islam yang tak ikut memperjuangkan visi-misi Hizbut Tahrir tentang khilafah. Dimata aktivis Hizbut Tahrir, tak ada syariat (Islam) kecuali ada di negara khilifah.
Namun, pemurnian tauhid dalam bingkai negera Islam yang mereka usung tak berbanding lurus dengan konsep negara yang dibayangkan. Negara Islam yang mereka bayangkan adalah terbentuknya tatanan masyarakat yang relegius dengan mengamalkan ajaran Islam sepenuh hati (kaffah), sehingga dapat mengantarkan kemajuan negara dan kejayaan umat Islam (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Faktanya, fatwa-fatwa hukum Hizbut Tahrir tak mencerminkan terbentuknya tatanan masyarakat yang relegius. Bahkan, fatwanya sering berbau mesum dan menebarkan dekadensi moral, seperti bolehnya jabat tangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, bolehnya laki-laki mencium wanita yang bukan mahram, bolehnya melihat aurat sesama laki-laki atau sebaliknya, dan bolehnya melihat mahram telanjang (hal. 117-136).
Padahal sudah jelas, dekadensi moral anak bangsa saat ini disebabkan karena pergaulan bebas yang tak terkontrol. Jika jabat tangan dan mencium lain jenis yang bukan mahram halal (tidak diharamkan), mungkinkan negara Islam dapat membentuk tatanan masyarakat Islam secara kaffah dan mengantarkan kepada kesejahteraan rakyat Indonesia?
Di tengah maraknya doktrin pembentukan Negara Islam Indonesia, buku karya aktivis Nahdlatul Ulama ini patut dibaca. Sehingga tidak mudah terjebak dengan simbolisasi agama yang sejatinya tidak mencerminkan kehidupan masyarakat yang beradab.
Dalam buku tersebut mengungkap dalil-dalil agama yang diselewengkan maknanya oleh Hizbut Tahrir berkaitan dengan khilafah. Tak jarang masyarakat awam terpesona dengan dakwah Hizbut Tahrir karena banyak mengeksploitasi dalil agama, sekalipun tak sejalan dengan ruh al-Qur’an dan al-Hadits. Wallahu a’lam.
*) Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Sumenep. Wakil Ketua PC IPNU Kab. Sumenep.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar