Selasa, 27 September 2011

wa man lam yahkum bima anzalallah


Firman Allah yang dimaksud adalah:

ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (المائدة: 44)

Para ulama kita menyatakan bahwa ayat di atas tidak boleh dimaknai secara harfiyah. Sebab mengambil faham harfiyah; dengan memaknai makna zhairnya akan menghasilkan bumerang. Artinya, klaim "kafir" secara mutlak terhadap orang yang tidak memakai hukum Allah akan kembali kepada dirinya sendiri. Artinya sadar atau tidak sadar ia akan mengkafirkan dirinya sendiri, karena seorang muslim siapapun dia, [kecuali para Nabi dalam masalah ajaran agama], akan jatuh dalam dosa dan maksiat. Artinya, ketika orang muslim tersebut melakukan dosa dan maksiat berarti ia sedang tidak melaksanakan hukum Allah. Lalu, apakah hanya karena dosa dan maksiat, bahkan bila dosa tersebut dalam kategori dosa kecil sekalipun, ia dihukumi sebagai orang kafir?! Bila demikian berarti semenjak dimulainya sejarah kehidupan manusia tidak ada seorangpun yang beragama Islam, sebab siapapun manusianya pasti berbuat dosa dan maksiat. karenanya, firman Allah di atas tidak boleh dipahami secara harfiyah "Barangsiapa tidak memakai hukum Allah maka ia adalah orang kafir", pemahaman harfiyah semacam ini salah dan menyesatkan.
Al-Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya dalam penjelasan ayat ini menyatakan bahwa ayat ini mengandung takwil sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan sahabat al-Bara’ ibn Azib. Al-Qurthubi menuliskan sebagai berikut:

“Seluruh ayat ini turun di kalangan orang-orang kafir (Yahudi). Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Shahih Muslim dari hadits sahabat al-Bara’ ibn Azib. Adapun seorang muslim, walaupun ia melakukan dosa besar [selama ia tidak menghalalkannya], maka ia tetap dihukumi sebagai orang Islam, tidak menjadi kafir. Kemudian menurut satu pendapat lainnya; bahwa dalam ayat di atas terdapat makna tersembunyi (izhmar), yang dimaksud ialah: ”Barang siapa tidak memakai hukum Allah, karena menolak al-Qur’an dan mengingkarinya, maka ia digolongkan sebagai orang-orang kafir”. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan dari Rasullah oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dan Mujahid. Inilah yang dimaksud dengan ayat tersebut” [al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 6, h. 190].

Selain penafsiran sahabat Abdullah ibn Abbas dan al-Bara’ ibn Azib di atas, terdapat banyak penafsiran serupa dari para sahabat lainnya. Di antaranya penafsiran Abdullah ibn Mas’ud dan al-Hasan yang menyebutkan bahwa ayat tersebut berlaku umum bagi orang-orang Islam, orang-orang Yahudi maupun orang-orang kafir, dalam pengertian bahwa siapapun yang tidak memakai hukum Allah dengan menyakini bahwa perbuatan tersebut adalah sesuatu yang halal maka ia telah menjadi kafir. Adapun seorang muslim yang berbuat dosa atau tidak memakai hukum Allah dengan tetap menyakini bahwa hal tersebut suatu dosa yang haram dikerjakan maka ia digolongkan sebagai muslim fasik. Dan seorang muslim fasik semacam ini berada di bawah kehendak Allah; antara diampuni atau tidak.

Pendapat lainnya dari al-Imam al-Sya’bi menyebutkan bahwa ayat ini khusus tentang orang-orang Yahudi. Pendapat ini juga dipilih oleh al-Nahhas. Alasan pendapat ini ialah;

1. Bahwa pada permulaan ayat ini yang dibicarakan adalah orang-orang Yahudi, yaitu pada firman Allah; “Lilladzin Hadu…”. Dengan demikian maka dlamir [kata ganti] yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi, bukan orang-orang Islam.
2. Bahwa pada ayat sesudah ayat ini, yaitu pada ayat 45, adalah firman Allah; “Wa Katabna ‘Alaihim…”. Ayat 45 ini telah disepakati oleh para ahli tafsir, bahwa dlamir yang ada di dalamnya yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. Dengan demikian jelas antara ayat 44 dan 45 memiliki korelasi kuat bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi [sebagaimana hal ini dapat dipahami dengan ’Ilm Munasabat al-Ayat].

Kemudian diriwayatkan bahwa sahabat Hudzifah ibn al-Yaman suatu ketika ditanya tentang ayat 44 ini; “Apakah yang dimaksud oleh ayat ini adalah Bani Isra’il?” sahabat Hudzaifah menjawab menjawab; “Benar, ayat itu tentang Bani Isra’il”. Sementara menurut al-Imam Thawus [murid Abdullah ibn Abbas] bahwa yang dimaksud “kufur” dalam ayat 44 ini bukan pengertian kufur yang mengeluarkan seseorang dari Islam, tetapi yang dimaksud “kufur” disini adalah dosa besar. Tentu berbeda, masih menurut Imam Thawus, dengan apa bila seseorang membuat hukum dari dirinya sendiri kemudian ia meyakini bahwa hukumnya tersebut adalah hukum Allah [atau lebih baik dari hukum Allah], maka orang semacam ini telah jatuh dalam kufur; yang telah benar-benar mengeluarkannya dari Islam. Al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, [dan Jumhur Ulama] berkata bahwa pendapat yang menyatakan orang yang tidak memakai hukum Allah maka ia telah menjadi kafir adalah pendapat kaum Khawarij. [Kelompok Khawarij terbagi kepada beberapa sub sekte. Salah satunya sekte bernama al-Baihasiyyah. Kelompok ini mengatakan bahwa siapa saja yang tidak memakai hukum Allah, walaupun dalam masalah kecil, maka ia telah menjadi kafir

8 komentar:

  1. Artinya kalau zaman sekarang kita hidup di negara yg tidak di atur dengan Al-qur'an otomatis kitansemua kafir kepada Allah karena dengan sadar mengikuti hukum buatan manusia dan meniadakan hukum Allah sangat berbeda dengan orang yg berada di pemerintahan yg di atur dengan hukum Alla(Al-qur'an) mereka apabila melanggar hukum maka akan di proses dg aturan Allah oleh negara yg bersangkutan ini pemberlakuan hukum bukan personal melakukan dosa besar maupun kecil kl dlm negara Allah (islam) tidak kafir tapi bila hidup di negara selain negara islam tidak berbuat dosapun dia di ancam api neraka..?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali bang,,yg di atas itu ngaur, bicara TPI ga tau maksud dan tujuan nya, Ko lari ke personal,,haha

      Hapus
  2. Mengartikan hukum Allah dalam rangka kemaslahatan umat,dan mengharap ridlo Allah yg jelas Allah mengatakan ayat waman lam yahkum bima anjqlallah faulaika humul kafirun itu menekankan kepada semua manusia agar memutuskan perkara menurut yg di turunkan oleh Allah kita manùsia jangan berusaha mencari2 alasan untuk tidak berhukum kepada hukum Allah lantas mengatakan itu tafsirnya bukan kafir kepadamAllah,lantasnkafir kepada siapa dan Allah kan bukan minta persetujuan manusia tapi menentukan bahwa kalau manusia mau selamat fidunya wal ahirat maka berhukumlah dengan huku Allah kan begitu kosekwensinya Allah ngga pernah mendelegasikan kepada mufasir tapi Allah memerintahkan kepada Rasulnya untuk menyampaikan hal ini kepada seluruh manusia dan sudah di contohkan oleh Rasulullah di madinnah dahulu ahli tafsir boleh aja menafsirkan apa saja tapi kalu tafsirnya menghindar dari aturan Allah neraka juga yg menunggu,wallahu a'lam bi sowab

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kita itu g boleh memahami Al Quran secara kontekstual krn kita g tau siapa yg dihitobi/dibicarakan dlm ayat tsb, dan kita g tuhu sabab turunnya ayat, mk wajib kita mengetahui tafsirannya agr g salah faham, dulu para sahabat sj klo g tahu maksud dr satu ayat mk mereka bertanya pd Nabi dan ktka nabi wafat mereka ganti bertanya pd sahabat yg lebih senior ttg pemahaman suatu ayat, krn meeka takut salah paham.

      Hapus
  3. Artinya kalau zaman sekarang kita hidup di negara yg tidak di atur dengan Al-qur'an otomatis kitansemua kafir kepada Allah karena dengan sadar mengikuti hukum buatan manusia dan meniadakan hukum Allah sangat berbeda dengan orang yg berada di pemerintahan yg di atur dengan hukum Alla(Al-qur'an) mereka apabila melanggar hukum maka akan di proses dg aturan Allah oleh negara yg bersangkutan ini pemberlakuan hukum bukan personal melakukan dosa besar maupun kecil kl dlm negara Allah (islam) tidak kafir tapi bila hidup di negara selain negara islam tidak berbuat dosapun dia di ancam api neraka..?

    BalasHapus
  4. Pemahaman khawarij ... Mengaitkan pelaku dosa dgn kekafiran lalu ditautkan dgn ayat ... Gak nyambung ... Ayat itu jelas utk mereka yg memberlakukan hukum selain hukum Allah ... Misalnya pencuri di penjara ... Bukan pencurinya yg kafir selama dia tidak ridho ... tapi pembuat dan pelaksana hukum penjaranya yg kafir

    BalasHapus