Rabu, 10 Agustus 2011

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih (Bagian 3)

Oleh; Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.

Al-Shan’ani dan al-Albani

Selama masa 1409 tahun itu, dalam catatan sejarah perjalanan agama Islam tidak pernah ada ulama yang mempermasalahkan tarawih dua puluh rakaat dengan berjamaah, baik pada masa Sahabat, Tabi’in, Ulama Salaf dan Khalaf, kecuali beberapa orang seperti Syeikh al-Shan’ani, penulis kitab Subul al-Salam dan Syeikh Muhammad Nashir al-Din al-Albani dalam kitabnya Risalah al-Tarawih. Dan pendapat Syeikh Muhammad Nashir al-Din al-Albani ini disanggah oleh Syeikh Ismail al-Anshari, seperti disebutkan di muka tadi.

Al-Shan’ani (w. 1182 H) dalam kitabnya Subul al-Salam Syarah kitab Bulugh al-Maram karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, memang mengatakan bahwa shalat tarawih secara berjamaah dengan jumlah rakaat tertentu itu bid’ah.[1] Sedangkan Syeikh Muhammad Nashir al-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Dhuhur lima rakaat.

Shalat tarawih dua puluh rakaat dengan berjamaah itu sudah dilakukan oleh para Sahabat, para Tabi’in para ulama salaf sampai masa belakangan, dan tidak ada orang yang mempermasalahkan, tidak ada orang yang menganggap hal itu salah atau menyalahi Sunnah Nabi Saw. pertanyaannya sekarang adalah mengapa kemudian al-Shan’ani yang hidup antara abad ke-11 dan ke-12 Hijri mempermasalahkan shalat tersebut? Mengapa baru al-Albani, seorang ulama yang hidup masa sekarang ini, yang pertama kali mempersoalkan bahwa shalat tarawih lebih dari sebelas rakaat sama dengan shalat Dhuhur lima rakaat?

Apakah selama belasan abad lamanya itu tidak ada ulama yang tahu tentang shalat tarawih, dan baru al-Shan’ani yang mengetahui tentang shalat tarawih sehingga ia mengatakan bahwa shalat tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama dengan shalat Dhuhur lima rakaat?

Tentu tidak demikian. Para Sahabat adalah orang-orang yang paling tahu tentang shalat Nabi Saw, karena mereka hidup semasa dan selalu besama beliau. Sekiranya shalat tarawih dua puluh rakaat itu menyalahi Sunnah Nabi Saw tentulah Ubay bin Ka’ab dan Umar bin al-Khattab sudah diprotes oleh Sahabat-sahabat yang lain. Sekiranya shalat tarawih yang benar itu hanya sebelas rakaat seperti dipahami oleh sementara orang dari riwayat Aisyah, tentulah pada waktu itu Aisyah sudah protes kepada Ubay bin Ka’ab atau Umar bin al-Khattab. Dan ternyata semua itu tidak pernah ada dalam sejarah. Baik Umar bin Khattab maupun Ubay bin Ka’ab, keduanya tidak pernah diprotes oleh para Sahabat yang lain.

Memang terkadang cara-cara al-Shan’ani dalam Subul al-Salam dapat mengecoh pembacanya yang kurang teliti. Misalnya ketika berbicara tentang Hadis shalat tarawih dua puluh rakaat dan Hadis shalat tarawih depalan rakaat. Ketika ia menukil Hadis Ibnu Abbas di mana Nabi Saw shalat tarawih dua puluh rakaat, al-Shan’ani mengkritik Hadis itu dengan menyebutkan kelemahan-kelemahannya. Tetapi ketika menukil Hadis Jabir di mana Nabi Saw shalat tarawih delapan rakaat, al-Shan’ani tidak berkomentar sepatah kata pun. Ia terdiam seribu bahasa.[2] Sikap al-Shan’ani ini memberikan kesan bahwa Hadis Jabir itu shahih, sedangkan Hadis Ibnu ABbas itu tidak shahih. Padahal seperti kami katakana di depan tadi, kedua Hadis itu sama-sama lemah sekali, yaitu maudhu (palsu) atau minimal matruk (semi palsu).”

Tarawih 1000 Rakaat Sunnah Nabi Saw.

“Pak Ustadz. Apabila tarawih dua puluh rakaat itu Sunnah Nabi Saw apakah berarti tarawih yang delapan rakaat bid’ah?” begitu Tanya ibu yang sejak tadi diam saja.

“Begini, Bu. Apabila tarawih delapan rakaat itu menggunakan Hadis yang tidak membatasi shalat tarawih tadi, maka tarawih delapan rakaat itu Sunnah Nabi juga, bukan bid’ah. Bahkan ada riwayat bahwa warga kota Madinah ada yang shalat tarawih tiga puluh enam rakaat. Namun menurut Imam Ibnu Qudamah, riwayat itu lemah.[3] Walaupun begitu, kalau kita mau shalat tarawih tiga puluh enam rakaat, bahkan seribu rakaat, maka hal itu boleh-boleh saja, dan mengiuti Sunnah Nabi Saw, bukan bid’ah, asalkan kita menggunakan Hadis yang tidak membatasi rakaat shalat tarawih tadi.”

Tarawih Syirik

“Pak Ustadz, tetangga saya memilih tarawih delapan rakaat. Katanya praktis, cepat rampung. Bagaimana itu?” tanya seorang ibu yang lain lagi.

“Ibu, beribadah itu harus berdasarkan dalil, jangan mengikuti selera atau hawa nafsu. Beribadah yang mengikuti selera alias hawa nafsu justru berdosa, bahkan sangat berbahaya. Sebab pelakunya bisa syirik. Di dalam al-Qur’an, ada ayat yang menyebutkan:

أرأيت من اتخذ إلهه هواه

Tahukah kamu orang yang menjadikan seleranya sebagai Tuhannya? (Surah al-Furqan;43)

Jadi apabila kita beribadah bukan karena taat kepada Allah, melainkan taat dan menuruti selera alias hawa nafsu, maka kita telah menjadikan selera itu sebagai Tuhan. Dan ini sangat berbahaya karena mempertuhankan selain Allah itu adalah syirik. Apabila kita syirik, maka seluruh amal kita akan hancur, tidak ada gunanya.

Allah berfirman:

ولو أشركوا لحبط عنهم ما كانوا يعملون

Apabila mereka (para nabi) itu syirik, maka semua amalnya akan hancur (Surah al-An’am;88)

Karenanya, jangan sekali-kali kita beribadah karena menuruti selera, tetapi menuruti perintah Allah melalui dalil-dalil agama. “Sudah paham ibu?” begitu kami bertanya.

“Sudah,” jawabnya singkat.

Tidak Berorientasi Angka

“Oleh karena itu, seyogyanya dalam ibadah shalat tarawih, kita tidak berorientasi kepada angka, alias jumlah rakaat. Silahkan mau tarawih delapan rakaat, asalkan mengikuti Hadis yang tidak membatasi shalat tarawih tadi. Namun orientasinya adalah lama dan bagusnya shalat itu. Begitu pula tarawih yang dua puluh rakaat, atau empat puluh rakaat, harus lama dan bagus.

Tarawih delapan rakaat tentu bacannya panjang, sedangkan tarawih dua puluh rakaat lebih banyak ruku dan sujudnya. Semuanya baik, asalkan tidak mengikuti selera atau hawa nafsu.

“Ibu-ibu, itu suara apa yang sedang berkumandang?” Tanya kami.

“Suara adzan, Pak Ustadz,” jawab ibu-ibu. “Baik kalau begitu . karena saat shalat Dhuhur sudah tiba, marilah kita akhiri pelajaran ini”

Dan begitulah, panitia akhirnya menutup acara pelatihan muballighat siang itu.***

*Sumber: Buku HADIS-HADIS BERMASALAH karya Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA., Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah Ciputat Jakarta. Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Dewan Penasehat IKAPETE (Ikatan Alumni Pesantren Tebuireng) Pusat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar