Oleh; Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Dalam sebuah pelatihan muballighat pada bulan Ramadhan di kawasan Kuningan Jakarta Selatan, seorang ibu muda dengan bersemangat sambil berdiri menanyakan Hadis tentang bilangan rakaat shalat tarawih.
“Pak Ustadz”, begitu ibu itu menyapa kami. “Sampai sekarang saya masih bingung, mana shalat tarawih yang benar, delapan rakaat atau dua puluh rakaat. Soalnya saya pernah mendengar ceramah bahwa shalat tarawih dengan delapan rakaat itu mengikuti Nabi Saw. Sedangkan shalat tarawih dua puluh rakaat itu mengikuti Umar bin al-Khattab. Penceramah itu juga berkata, “Kalau kita ingin selamat, ikuti saja Nabi Saw”.
“Pak Ustadz sebagai orang yang banyak menekuni Hadis, tentu dapat menjelaskan hal itu kepada kami. Dan kami sampaikan terima kasih sebelumnya.” Begitu permintaan ibu muda tadi sambil memposisikan badannya untuk duduk kembali di atas kursi semula.
Bisa Salah Bisa Benar
“Ibu minta yang panjang apa yang pendek?” tanya kami. “Apa maksud Pak Ustadz?” ibu tadi balik bertanya. “Maksud kami, ibu perlu jawaban dan uraian yang panjang, atau cukup jawaban yang singkat saja,” jawab kami. “Yang singkat dan pendek saja Pak Ustadz,” jawabnya.
“Baik kalau demikian,” jawab kami memulai. “Hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat itu palsu. Hadis ini tidak dapat dipakai sebagai dalil sama sekali. Begitu pula, Hadis yang menetapkan shalat tarawih sebanyak delapan rakaat adalah semi palsu. Hadis ini juga tidak dapat dijadikan dalil”.
“Kalau begitu, yang benar shalat tarawih yang bagaimana?” tanya seorang ibu yang lain penasaran. “Shalat tarawih dua puluh rakaat itu bisa benar, juga bisa salah. Begitu pula shalat tarawih yang delapan rakaat, bisa benar dan bisa salah”. Bagitu kami menjawab.
“Pak Ustadz saya jadi tambah bingung, apa sebenarnya yang ustadz maksudkan?” kata seorang ibu yang lain lagi sambil mengerutkan dahinya. “Percaya kan, ibu-ibu tidak puas dengan yang pendek, musti minta yang panjang,” jawab kami. “Ah, Pak Ustadz bisa aja bercanda,” kata ibu yang duduk di deretan kursi depan sambil nyengir.
“Baik, kalau demikian, ibu-ibu jangan kemana-mana, tetaplah bersama kami. Kami akan segera kembali dengan jawaban yang panjang.
Tidak Ada Pada Masa Nabi
Kata tarawih adalah bentuk jamak dari kata tarwihah yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau duduk istirahat.[1] Maka dari sudut bahasa, shalat tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga kali. Kemudian menurut istilah dalam agama Islam, shalat tarawih adalah shalat sunnah malam hari yanag dilakukan khusus pada bulan Ramadhan. Shalat sunnah yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan, tidak disebut shalat tarawih. Misalnya shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat Isya’, shalat witir, shalat hajat, dan sebagainya.
Pada masa Nabi Saw tidak ada istilah shalat tarawih. Nabi Saw dalam Hadis-hadisnya juga tidak pernah menyebutkan kata-kata tarawih. Pada masa Nabi Saw, shalat sunnah pada malam Ramadhan itu dikenal dengan istilah qiyam Ramadhan.[2] Tampaknya istilah tarawih itu muncul dari penuturan Aisyah isteri Nabi Saw. seperti diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, Aisyah mengatakan, “Nabi Saw shalat malam empat rakaat, kemudian yatarwwah (istirahat), kemudian shalat lagi panjang sekali.[3]
Karenanya, ada orang yang berkelakar, Nabi Saw tidak pernah shalat tarawih selama hidupnya, karena Nabi Saw hanya melakukan qiyam Ramadhan.
Semuanya Salah
Di negeri kita, ada dua versi pelaksanaan shalat tarawih. Pertama, dua puluh rakaat, dan kedua, delapan rakaat. Ada sebuah Hadis riwayat Imam al-Thabrani sebagai berikut:
عن ابن عباس قال, كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في رمضان عشرين ركعة والوتر
Dari Ibnu Abbas, katanya, “Nabi Saw shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”.[4]
Hadis ini, seperti dituturkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, adalah lemah sekali.[5] Dan Hadis yng kualitasnya sangat lemah, tidak dapat dijadikan dalil sama sekali untuk landasan beribadah. Kelemahan hadis ini karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman. Menurut Imam al-Bukhari, para ulama’ tidak mau berkomentar tentang Syaibah. Imam al-Tirmidzi mengatakan bahwa Abu Syaibah munkar Hadis-hadisnya. Sedangkan Imam Nasai mengatakan, Abbu Syaibah adalah matruk Hadisnya. Bahkan menurut Imam Syu’bah, Abu Syaibah adalah seorang pendusta.[6]
Karenanya, Hadis riwayat Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir itu dapat disebut Hadis palsu atau minimal Hadis matruk (semi palsu), karena ada rawi yang pendusta tadi. Dan ini, pada gilirannya, Hadis itu tidak dapat dijadikan dalil untuk shalat tarawih dua puluh rakaat. Atau dengan kata lain, apabila kita shalat tarawih dua puluh rakaan dengan menggunakan dalil Hadis Ibnu Abbas tadi, maka apa yang kita lakukan salah.
“Bagaimana ibu-ibu masih perlu dilanjutkan?” Tanya kami kepada ibu-ibu peserta pelatihan muballighat itu yang sejak tadi terdiam saja.
“Ya, Pak Ustadz, diteruskan”, jawab mereka serentak.
“Baiklah,” sahut kami.
“Tentang Hadis yang menerangkan bahwa Nabi Saw shalat tarawih delapan rakaat dan witir, maka sebenarnya redaksinya begini. Dalam kitab Shahih Ibnu Hibban ada sebuah Hadis begini:
عن جابر بن عبدالله, قال : جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله, إنه كان مني الليلة شيئ – يعني في رمضان. قال: وما ذاك يا أبي؟ قال: نسوة في داري قلن إنالانقرأ القرأن, فنصلي بصلاتك. قال: فصليت بهن ثماني ركعات ثم أوترت. قال: فكان شبيه الرضا ويم بقل شيئا.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Ubay bin Ka’ab datang menghadap Nabi Saw lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya, pada bulan Ramadhan.” Nabi Saw kemudian bertanya. “Apakah itu, wahai Ubay?” Ubay menjawab, “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca al-Qur’an. Mereka minta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat witir.” Jabir kemudian berkata, “Maka hal itu diridlai Nabi Saw, karena beliau tidak berkata apa-apa.[7]
Hadis ini kualitasnya lemah sekali, karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut para ahli kritik Hadis papan atas, seperti Imam Ibnu Ma’in dan Imam al-Nasai, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah Hadisnya. Bahkan Imam al-Nasai pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (Hadisnya semi palsu karena ia pendusta).[8]
Ada lagi Hadis lain yang lebih kongkrit dari Hadis di atas, yaitu riwayat Ja’far bin Humaid, dari Jabir bin Abdullah, katanya:
صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلية في رمضان ثماني ركعات والوتر
Nabi Saw pernah mengimami kami shalat pada suatu malam Ramadhan delapan rakaat dan witir.[9]
Hadis ini nilainya sama dengan Hadis Ubay bin Ka’ab di atas, yaitu matruk (semi palsu), karena di dalam sanadnya terdapat rawi Isa bin Jariyah itu tadi.
Jadi baik shalat tarawih dua puluh rakaat, maupun shalat tarawih depalan rakaat, apabila menggunakan dua Hadis di atas tadi, yaitu Hadis Ibnu Abbas untuk tarawih dua puluh rakaat dan Hadis Jabir untuk tarawih yang delapan rakaat, maka dua-duanya adalah salah. “Paham ibu-ibu?” begitu Tanya kami.
“Paham, Pak Ustadz,” sahut ibu-ibu serentak dengan sorot matanya yang agak melotot karena antusias untuk memahami masalah ini.
Semuanya Benar
“Baik ibu-ibu, kami lanjutkan.” Kata kami. “Shalat tarawih delapan rakaat maupun dua puluh rakaat itu semuanya benar apabila menggunakan Hadis yang shahih, di mana Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam Ramadhan atau qiyam Ramadhan yang kemudian lazim dikenal dengan shalat tarawih.
Hadis itu adalah:
قال رسول الله صلي الله عليه وسلم من قام رمضان إيمانا واحتساباغفر له ما تقدم من ذنبه (رواه البخاري)
Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang menjalankan qiyam Ramadhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah ia lakukan akan diampuni. (Hadis riwayat al-Bukhari).[10]
Dalam Hadis ini, Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam Ramadhan. Mau sepuluh rakaat, silahkan. Mau dua puluh rakaat, silahkan. Mau seratus rakaat, silahkan. Mau delapan rakaat pun silahkan. Maka shalat tarawih dua puluh rakaat dan delapan rakaat, apabila menggunakan Hadis ini sebagai dalil, keduanya benar. Hanya bedanya nanti, mana yang afdhal saja. Bisa jadi shalat tarawih dua puluh rakaat itu afdhal daripada delapan rakaat, apabila tarawih dua puluh rakaat itu dilakukan dengan baik, khusyu’, dan lama. Sementara shalat tarawih delapan rakaat dilakukan dengan tidak baik.
Sebaliknya, shalat tarawih delapan rakaat itu afdhal daripada dua puluh rakaat, apabila yang delapan rakaat itu dikerjakan dengan baik, khusyu’ dan lama. Sementara yang dua puluh rakaat dikerjakan dengan cepat dan tidak khusyu’.”
Dalil Shalat Witir
“Pak Ustadz, saya mau bertanya,“ kata seorang ibu yang duduk di bangku ketiga di depan. “Baik ibu, sebutkan namanya dan dari mana!” kata kami.
“Nama saya Ida, dari Pasar Minggu, mau bertanya. Bukankah ada riwayat yang shahih dari Aisyah isteri Nabi Saw, bahwa Nabi Saw baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan tidak pernah shalat malam lebih dari sebelas rakaat? Bagaimana Pak Ustadz dengan Hadis ini? Bukankan hal itu berarti bahwa shalat malam Ramadhan itu tidak boleh lebih dari sebelas rakaat?”
“Terima kasih, Ustadzah Ida dari Pasar Minggu. Pertanyaan Ibu sangat-sangat bagus,“ begitu jawab kami. “Memang benar ada Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan lain-lain dari Aisyah isteri Nabi seperti yang Ustadzah sampaikan tadi. Kami tidak ingin mengomentari Hadis itu karena ia adalah Hadis shahih, sehingga tidak perlu komentar lagi. Yang ingin kami komentari adalah pemahaman kita yang menjadikan Hadis Aisyah itu sebagai dalail shalat tarawih.
Komentar kami adal tiga hal.
Pertama; kawan-kawan yang menggunakan Hadis tersebut sebagai dalil shalat tarawih biasanya tidak membaca Hadis itu secara utuh, sehingga mungkin dapat menimbulkan kesimpulan yang berbeda. Hadis Aisyah tadi diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Tirmidzi, Imam Abu Dawud, Imam al-Nasai dan Imam Malik bin Anas. Kisahnya adalah, seorang Tabi’in yang bernama Abu Salamah bin Ab al-Rahman bertanya kepada Aisyah isteri Nabi Saw tentang shalat Nabi Saw pada bulan Ramadhan. Aisyah menjawab:
ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن, ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن, ثم يصلي ثلاثا. قالت عائشة رضي الله عنها, فقلت: يا رسول الله, أتنام قبل أن توتر؟ قال: يا عائشة, إن عيني تنامان ولا ينام قلبي.
Rasulullah Saw tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda tidur sebelum shalat witir?” Beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.[11]
Jadi apabila kita baca Hadis itu secara utuh, maka konteks Hadis itu adalah berbicara tentang shalat witir, bukan shalat tarawih, karena pada akhir Hadis itu Aisyah menanyakan shalat witir kepada Nabi Saw. Dan seperti kami jelaskan di depan, shalat tarawih itu adalah shalat sunnah yang hanya dilakukan pada malam-malam Ramadhan. Sedangkan shalat witir adalah shalat witir adalah shalat sunnah yang dilakukan setiap malam, sepanjang tahun dan tidak hanya pada bulan Ramadhan.
Kedua; Dalam Hadis tersebut Aisyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi Saw tidak pernah shalat lebih dari sebelas rakaat baik pada malam bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan. Shalat yang dilakukan pada malam sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan tentu bukan shalat tarawih. Sebab shalat tarawih hanya dilakukan pada bulan Ramadhan.
Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa Hadis Aisyah di atas itu adalah Hadis tentang shalat witir, bukan Hadis tentang shalat tarawih. Para ulama umumnya juga menampatkan Hadis Aisyah itu pada bab shalat witir atau shalat malam, bukan pada bab tentang shalat tarawih.[12]
Adalah keterangan lain yang juga dari Aisyah sendiri, di mana beliau berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة, منها الوتر وركعتا الفجر (رواه البخاري و مسلم وأبو داود)
Rasulaullah Saw shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat witir dan dua rakaat fajar. (Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)[13]
Ketiga: umumnya kawan-kawan yang shalat tarawih sebelas rakaat itu menggunakan Hadis Aisyah tadi sebagai dalil shalat mereka itu. Baik, kalau mereka mau konsekwen mengikuti sunnah Nabi Saw. silahkan mereka shalat sebelas rakaat itu setiap malam, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Sebab Hadis Aisyah tadi menyebutkan bahwa Nabi Saw shalat sebelas rakaat itu setiap malam, sepanjang tahun, baik bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan.
Kenyataanya tidak demikian. Kawan-kawan yang shalat tarawih sebelas rakaat itu selalu menyebut-nyebut Hadis Aisyah tadi pada bulan-bulan Ramadhan saja. Di luar Ramadhan Hadis Aisyah itu tidak pernah mereka sebut-sebut. Kami tidak tahu pasti apakah kawan-kawan yang shalat sebelas rakaat pada bulan Ramadhan itu juga shalat sebanyak itu di luar Ramadhan. Lagi pula, ada keterangan yang shahih, bahwa Nabi Saw shalat malam sampai kakinya pecah-pecah.
عن المغيرة رضي الله عنه يقول: إن كان النبي صلى الله عليه وسلم ليقوم ليصلي حتى ترم قدماه أو ساقاه. فيقال له, فيقول: أفلا أكون عبدا شكورا؟
Al-Mughirah r.a. menuturkan bahwa Nabi Saw shalat malam sampai pecah-pecah kedua tumit atau betisnya. Ketika hal itu ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab, “Bukankah aku ini seorang hamba yang banyak bersyukur?”[14]
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Saw shalat malam banyak rakaat, bukan hanya sebelas rakaat. Sekiranya Nabi Saw shalat malam hanya sebelas rakaat, tentu kaki beliau tidak akan pecah-pecah. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan shalat sebelas rakaat oleh Aisyah itu adalah shalat witir, bukan shalat malam secara keseluruhan.
Dalam Hadis yang lain Nabi Saw. bersabda:
اجعلوا اخرصلاتكم بالليل وترا
Jadikanlah shalatmu terakhir pada malam hari adalah shalat witir.[15]
Aisyah sendiri juga mengatakan:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل حتى يكون اخر صلاته الوتر
Rasulullah Saw shalat malam, sehingga shalat paling terakhir yang beliau lakukan adalah shalat witir.[16]
Dalam Hadis lain, Aisyah juga mengatakan:
كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي وأنا راقدة معترضة على فراشه, فإذا أراد أن يوتر أيقظني فأوترت.
Nabi shalat malam dan saya tidur terlentang di atas tempat tidurnya. Apabila beliau hendak witir, beliau membangunkan aku, kemudian aku shalat witir.[17]
Jadi shalat setiap malam sebelas rakaat yang dilakukan Nabi Saw adalah shalat witir, dan itu adalah shalat paling akhir dilakukan Nabi Saw setiap malam. Sebelum shalat witir, shalat apa dan berapa rakaat yang dilakukan Nabi Saw? Tampaknya Aisyah tidak tahu, karena beliau waktu itu masih tidur.
“Baik, ibu-ibu, masih ada lagi yang bertanya?” begitu tanya kami, sementara hari pada awal Ramadhan itu sudah mulai siang.
“Ada Pak Ustadz,” kata ibu yang lain. “Baik, silahkan. Sebut namanya dan peserta dari mana!” pinta kami.
*Sumber: Buku HADIS-HADIS BERMASALAH karya Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA., Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah Ciputat Jakarta. Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Dewan Penasehat IKAPETE (Ikatan Alumni Pesantren Tebuireng) Pusat.
Baca Selengkapnya (1), (2), (3)
[1] Dr. Ibrahim Anis, et. Al., al-Mu’jam al-Wasit, Dar al-Fikr, ttp, tth., I/380
[2] Lihat misalnya, al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth., I/342
[3] Al-Shan’ani, Subul al-Salam, Dar al-Fikr, ttp., 1/11
[4] Al-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, Editor Hamdi Abd al-Majid, Dar Khalf Jami’ah al-Azhar, Cairo tth., XI/393
[5] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, Dar al-Fikr, Beirut, 1303 H./1983 M. I/195
[6] Al-Dzahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal., Editor Ali Muhammad al-Bijawi, Dar al-Fikr, 1382 H/1963 M., I/47-48
[7] Ibnu Balban, al-Ihsan bi Tartib Shahih Ibn Hibban, Dar al-Fikr, Beirut, 1417 H/1996 M, IV/342. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashar dan Abu Ya’la.
[8] Al-Dzahabi, Op Cit. III/311
[9] Ibid.
[10] Al-Bukhari, Loc. Cit.
[11] Al-Bukhari, Op. Cit. I/342-343. Muslim bin al-Hallaj, Shahih Muslim, Dar Alam al-Kutub, Riyadh, 1417/1996, I/509. Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Muhammad Ali al-Sayid, Himsh, 1389/1970; II/86-87. Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Editor Abd al-Wahhab Abd al-Latif, Dar al-Fikr, Beirut; 1430/1983; I/274-275. Al-Nasai, Sunan Nasai, al-Maktabah al-‘Ilmiyah, Beirut, tth. III/234/235. Malik bin Anas, al-Muwatta, Editor; Abd al-Wahhab Abd al-Latif, Dar al-Qalam, Beirut, tth. Hal. 90
[12] Lihat secara umum kitab-kitab dalam foot note no. 11 di atas.
[13] Al-Bukhari, Op. Cit. I/199. Muslim bin al-Hajjaj, Op. Cit. I/508. Abu Dawud al-Sijjistani, Op. Cit. II/84
[14] Al-Bukhari, Op. Cit. I/198
[15] Al-Bukhari, Op. Cit. I/177. Muslim bin Hajjaj, Op. Cit. I/516
Sumber: http://www.tebuireng.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar