Oleh; Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Memenggal Hadis
“Pak Ustadz,” begitu ibu tadi mulai bertanya. “Di lingkungan masyarakat kita, ada yang shalat tarawih delapan rakaat, dengan cara empat rakaat satu kali duduk dan salam, sebanyak dua kali. Kemudian shalat witir tiga rakaat dengan satu kali duduk. Alasannya, kata mereka, mengikuti Sunnah Nabi Saw berdasarkan riwayat Aisyah tadi. Bagaiamana hal ini menurut Ustadz, terima kasih.”
“ibu tadi belum menyebutkan nama dan peserta dari mana,” begitu kata kami sebelum menjawab pertanyaan.
“Farida nama saya, Pak Ustadz, dari Tebet,” jawabnya singkat.
“Baik, Ibu Farida, dari Tibet. Eh, maaf dari Tebet,” begitu kata kami keseleo. “Hadis Aisyah yang sudah kami jelaskan di muka tadi adalah Hadis tentang shalat witir bukan Hadis tentang shalat tarawih. Sebelas rakaat itu adalah satu paket shalat witir dengan jumlah rakaat yang maksimal. Shalat witir minimal satu rakaat.
Dalam berbagai riwayat yang shahih, shalat witir itu bervariasi, boleh satu rakaat, tiga rakaat, lima rakaat, tujuh rakaat, Sembilan rakaat, dan sebelas rakaat. Bahkan ada riwayat tiga belas rakaat. Shalat witir itu juga boleh dilakukan dengan dua rakaat lalu salam, kemudian ditambah satu rakaat. Dapat juga tiga rakaat satu kali duduk, kemudia salam. Ini bagi witir yang tiga rakaat. Witir lima rakaat dapat dilakukan dengan bentuk empat rakaat dengan duduk sekali, kemudian ditambah satu rakaat. Nabi Saw juga pernah shalat witir sembilan rakaat dan duduk serta salam pada rakaat kedelapan.[1]
Tentang pertanyaan Ibu Farida dari Tebet tadi, di mana Hadis Aisyah itu dipakai oleh sementara orang untuk shalat tarawih delapan rakaat dan witir tiga rakaat, menurut kami hal itu tidak tepat. Karena hal itu berarti satu Hadis yang merupakan dalil untuk satu paket shalat witir dipenggal menjadi dua, delapan rakaat untuk tarawih dan tiga rakaat untuk witir. Kalau Hadis Aisyah itu dipakai untuk shalat witir saja, itu benar.
“Bagaiamana Ibu Farida, sudah paham?” begitu kami bertanya. “Sudah, Pak Ustadz,” jawabnya singkat.
Sahabat Memakai Hadis Palsu?
“Saya mau bertanya, Pak Ustadz,” begitu tiba-tiba kata seorang ibu yang lain lagi. “Silahkan, Bu. Sebut nama dan peserta dari mana,” pinta kami.
“Saya bernama Tuti, peserta dari Condet. Pertanyaan saya begini Pak Ustadz. Apabila Hadis tentang tarawih dua puluh rakaat itu palsu, sedangkan yang masyhur tarawih dua puluh rakaat itu dikerjakan oleh para Sahabat pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, maka hal ini berarti pada Sahabat itu menjadikan Hadis palsu sebagai dalil ibadah mereka. Ini merupakan suatu hal musykil bagi saya. Lagi pula bagaimana sebenarnya kualitas riwayat tarawih dua puluh rakaat yang diprakasai Khalifah Umar itu? Terima kasih.”
“Ibu Tuti yang baik. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab belum ada yang memalsu Hadis. Menurut para ulama ahli Hadis, pemalsuan Hadis baru ada sesudah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan tahun 35 H. bahkan Dr. Shubhi al-Shalih menyebutkan bahwa sejak tahun 41 H. pemalsuan Hadis itu muncul ke permukaan.[2] Sedangkan Khalifah Umar wafat pada tahun 23 H. jadi pada Sahabat tidak memakai Hadis palsu dalam masalah shalat tarawih dua puluh rakaat.
Hadis shalat tarawih dua puluh rakaat itu sendiri yang kami sebut sebagai Hadis palsu adalah diriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat rawi yang bernama Ibrahim bin Sulaiman al-Kufi yang meninggal sesudah tahun 260 H. Dia inilah yang memalsu Hadis tersebut.[3] Jadi Hadis itu tentunya muncul pada petengahan abad ketiga.
Kemudian tentang kualitas Hadis Ubay bin Ka’ab yang mengimami shalat tarawih pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, maka kualitasnya shahih. Hadis ini disebut Hadis mauquf, karena tidak disandarkan kepada Nabi Saw. Apabila Hadis disandarkan kepada Nabi Saw disebut Hadis marfu’. Hadis Ubay bin Ka’ab ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya al-Sunan al-Kubra, Juz II hal. 496. Dan sekali lagi kualitasnya shahih. Demikian menurut Imam al-Nawawi, Imam al-Zaila’I, Imam al-Subki, Imam In al-‘Iraqi, Imam al-‘Aini, Imam al-Suyuti, Imam Ali al-Qari, Imam al-Nimawi, dan lain-lain.[4]
Memang ada yang menilai Hadis Ubay bin Ka’ab itu dhaif (lemah), seperti Imam al-Mubarakfuri dan Syeikh al-Albani. Namun penilaian itu dibantah oleh Syeikh Ismail al-Anshari, seorang ulama peneliti dari Darul Ifta di Riyadh Saudi Arabia.[5]
Tarawih 20 Rakaat Sunnah Nabi Saw.
“Kalau begitu, angka dua puluh itu dari mana, Pak Ustadz?” begitu tiba-tiba seorang ibu yang duduk di depan nyelonong bertanya.
“Itulah Bu, yang perlu kita ketahui,” jawab kami spontan. “Dalam Hadis-hadis yang shahih, tidak ada kejelasan berapa rakaat Nabi Saw melakukan qiyam Ramadhan. Yang jelas Nabi Saw melakukan qiyam Ramadhan yang kemudian dikenal dengan shalat tarawih itu selama dua atau tiga malam saja. Beliau melakukannya dengan berjamaah di masjid. Malam ketiga atau keempat, beliau ditunggu-tunggu oleh para jamaah untuk shalat yang sama, tetapi beliau tidak keluar ke masjid.
Sejak saat itu, sampai beliau wafat bahkan samapai masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dan awal masa Khalifah Umar, tidak ada yang melakukan shalat tarawih secara berjamaah di masjid. Baru kemudian pada masa Khalifah Umar bin Kahattab, beliau menyuruh Sahabat Ubay bin Ka’ab untuk menjadi imam shalat tarawih di masjid. Dan ternyata Ubay bin Ka’ab bersama pada Sahabat yang lain shalat tarawih dua puluh rakaat.[6]
Tentu pertanyaannya sekarang, dari mana para Sahabat itu mengetahui bahwa shalat tarawih itu dua puluh rakaat, padahal tidak ada keterangan yang kongkrit dari Nabi Saw. bahwa beliau shalat tarawih dua puluh rakaat? Mengapa ketika mereka shalat tarawih dua puluh rakaat tidak ada seorang pun protes atau menyalahkan shalat mereka?
Mengapa Aisyah waktu itu diam saja, tidak protes. Padahal Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi Saw tidak pernah shalat malam, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan lebih dari sebelas rakaat? Apabila yang dilakukan para Sahabat itu menyalahi tarawih yang dilakukan Nabi Saw mengapa semua Sahabat diam, padahal ketika Umar bin al-Khattab mau membatasi besarnya mahar saja, beliau diprotes oleh seorang wanita karena hal itu bertentangan dengan al-Qur’an?[7]
Untuk mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan ini, ada dua cara pendekatan.
Pertama; apa yang dilakukan para Sahabat itu, di mana mereka shalat tarawih dua puluh rakaat, menurut disiplin ilmu Hadis disebut Hadis Mauquf. Hadis Mauquf ini seperti disebutkan Imam al-Suyuti, apabila tidak berkaitan dengan masalah ijtihadiyah dan pelakunya dikenal tidak menerima keterangan-keterangan dari sumber-sumber mantan orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka Hadis mauquf statusnya sama dengan Hadis Marfu’, yaitu Hadis yang bersumber dari Nabi Saw. Alasannya, Sahabat tentu tidak mengetahui hal itu kecuali dari Nabi Saw.[8]
Masalah shalat tarawih termasuk jumlah rakaatnya adalah bukan masalah ijtihadiyah, bukan juga masalah yang bersumber dari pendapat seseorang, melainkan para Sahabat mengetahui hal itu hanya dari Nabi Saw. Sekiranya hal itu merupakan masalah ijtihadiyah atau masalah yang bersumber dari pendapat seseorang tentulah pada Sahabat akan berbeda-beda dalam melakukan shalat tarawih. Sebab lazimnya, dalam masalah-masalah ijtihadiyah, atau masalah-masalah di mana pendapat seseorang dapat berperan, akan tetapi terjadi perbedaaan-perbedaan.
Oleh karena itu, Hadis tentang tarawih dua puluh rakaat tadi, kendati hal itu mauquf kepada para Sahabat, namun statusnya sama dengan Hadis marfu’; yaitu Hadis yang bersumber dari Nabi Saw. apabila berstatus sebagai Hadis marfu’, maka ia memiliki hujjiyah (kekuatan sebagai sumber hukum) seperti halnya Hadis-hadis marfu’ yang lain.
Kedua: ketika Ubay bin Ka’ab mengimami shalat tarawih dua puluh rakaat, tidak ada satu orang pun yang protes, menyalahkan atau menganggap hal itu bertentangan dengan yang dikerjakan Nabi Saw. Padahal pada waktu itu Aisyah, Umar bin al-Khattab, Abu Hurairah, Ali bin Abi Talib, Utsman bin Affan, dan para Sahabat senior yang lain, semuanya masih hidup. Sekiranya tarawih dua puluh rakaat itu bertentangan dengan Sunnah Nabi Saw. tentu para Sahabat itu sudah protes terhadap apa yang dilakukan Ubay bin Ka’ab.
Bandingkan dengan misalnya pada masa Marwan dari Dinasti Bani Umayyah, jauh setelah masa Umar bin al-Khattab, Marwan pernah mengubah tatanan shalat ‘Id (Hari Raya). Sunnahnya atau berdasarkan tuntunan Nabi Saw, shalat ‘Id itu dikerjakan sebelum khutbah berbeda dengan shalat Jum’at, yang mendahulukan khutbah baru kemudian shalat. Pada masa Marwan, apabila dalam shalat ‘Id itu shalat didahulukan baru kemudian khutbah, maka banyak jamaah yang bubar tidak mau mendengarkan khutbah. Karenanya, agar orang-orang itu mau mendengarkan khutbah, Marwan mengubah tatanan shalat ‘Id menjadi khutbah dahulu kemudian shalat.
Apa yang terjadi kemudian? Marwan diprotes habis-habisan oleh orang banyak. “Wahai Marwan, kamu menentang Sunnah Nabi Saw,” begitu kata seorang dari mereka yang mengecam Marwan.[9]
Oleh karena shalat tarawih dua puluh rakaat yang dipimpin Ubay bin Ka’ab itu tidak ada satu pun dari Sahabat yang diprotes atau menentang, maka hal itu, menurut Imam Ibnu Abd al-Barr (w. 463 H), Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w.620 H) merupakan ijma’ (consensus) Sahabat yang kemudian diikuti oleh Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan menurut Imam Qudamah, apa yang disepakati oleh para Sahabat itu lebih utama dan lebih layak untuk diikuti.[10]
Imam Ibnu Taimiyah (w.728 H) juga menegaskan, “Riwayat yang shahih menyebutkan bahwa Ubay bin Ka’ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir tiga rakaat. Maka banyak ulama mengatakan bahwa hal itu adalah Sunnah, karena Ubay bun Ka’ab shalat di hadapan orang-orang Muhajirin dan Anshar dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengingkari.[11]
Jadi, ibu-ibu yang baik, shalat tarawih dua puluh rakaat itu merupakan Sunnah Nabi Saw dan bukan bid’ah.” Begitu kata kami ingin segera mengakhiri dialog siang itu, karena jarum jam sudah menunjuk kepada angka 11.40.
Tiga Dalil Tarawih
“Ada yang bilang, katanya tarawih dua puluh raka’at itu bid’ah. Bagaimana itu Pak Ustadz?” Tanya ibu yang tadi penasaran.
“Waduh, bagaimana ibu-ibu masih juga ada yang bertanya, padahal hari sudah semakin siang. Ibu-ibu tentu ingin segera pulang untuk menyiapkan kolak dan minuman ketimun suri,” begitu kata kami.
“Ah, Bapak tahu aja,” kata seorang ibu yang sejak tadi terdiam saja. “Bagaimana, ibu-ibu, dilanjutkan apa ditutup sampai di sini?” Tanya kami.
“Dilanjutkan,” begitu jawab ibu-ibu itu serentak. “Biar kapok, Bapak dikuras hari ini,” kata seorang ibu yang berbusana cerah.
“Bu, apanya yang dikuras?” Tanya kami. “Ilmunya, Pak Ustadz,” jawab ibu tadi.
“Ibu, ilmu itu tidak sepeti air sumur. Air sumur dikuras? Habis. Ilmu? Semakin dikuras, semakin kembung, karena mata airnya semakin banyak dan deras. Jadi kalau ibu-ibu ingin banyak ilmunya, sering-sering sajalah dikuras.”
“Pak Ustadz, kalau saya boro-boro bisa diuras, belum dikuras saja sudah kering duluan. Makanya saya datang ke sini agar sumurnya kagak kering,” kata seorang ibu yang duduk di pojokan.
“Kalau sumurnya kering nanti mandinya di kali,” kata kami. “Orang Jakarta sudah kagak punya kali lagi. Kalinya sudah jadi hotel semua,” kata seorang ibu yang berseragam ungu terong.
“Malah enak. Nanti mandinya di hotel semua,” kata kami yang disambut tertawa oleh ibu-ibu.
“Baiklah, ibu-ibu. Pelajaran kita lanjutkan,” kata kami memulai lagi. “Tentang masalah mandi di hotel, eh…. Maaf, keliru.”
“Pak Ustadz bisa-bisa aja,” kata ibu yang duduk di bangku depan sambil cemberut mukanya.
“Ibu-ibu kami ulangi. Masalah pendapat seseorang yang mengatakan bahwa tarawih dua puluh rakaat itu bid’ah, maka kami akan menjelaskan dahulu apa yang disebut bid’ah. Masalahnya ada sementara orang yang keliru memahami bid’ah. “Dalam masalah ibadah, bid’ah adalah amal-amal ibadah yang tidak ada dalilnya. Dan yang namanya dalil itu adalah al-Qur’an, Hadis, Ijma, dan Qiyas.
Ada orang yang berkata bahwa do’a setelah shalat adalah bid’ah. Padahal ada Hadis hasan riwayat Imam al-Tirmidzi di mana Nabi Saw. ditanya oleh para Sahabat:
أي الدعاء أسمع؟ قال جوف الليل الاخر ودبر الصلوات المكتوبات
“Doa manakan yang paling didengar Allah?” Nabi Saw menjawab, “Doa pada waktu tengah malam yang akhir dan doa sehabis shalat-shalat fardhu.”[12]
Dan masih banyak contoh-contoh semacam itu, yang intinya adalah apa yang disebut bid’ah itu ternyata apa yang dia itu tidak tahu.
Pemahaman seperti ini tentu harus diluruskan .
Sekarang, kami mau bertanya kepada ibu-ibu. Apakah shalat tarawih dua puluh rakaat itu tidak ada dalilnya?”
“Ada….,” jawab mereka serentak.
“Baik, sekarang kami mau bertanya lebih rinci. Yang jelas, dalilnya ada dan dalilnya ada tiga macam. Saya mau bertanya. Mana ibu yang dari Tebet. Ibu Farida, ada?”
“Ada, Pak Ustadz,” jawabnya singkat.
“Ustadzah Farida. Coba ibu sebutkan salah satu dalil shalat tarawih dua puluh raka’at!” begitu pinta kami.
“Dalilnya adalah Hadis shahih di mana Nabi Muhammad Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat tarawih.” Jawabnya.
“Bagus sekali. Seratus buat ibu Farida,” kata kami. “Baik, ibu Farida hafal Hadis tersebut?” Tanya kami lagi. Dan tanpa menjawab lebih dahulu Ibu Farida langsung menyebutkan Hadis.
من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Bagus-bagus. Luar biasa Ibu Farida. Jawabannya tepat sekali. Ini Ibu Farida baru belajar sekali, jawabannya sudah seperti itu. Bagaimana kalau belajarnya sudah seratus kali?” kata kami memberi semangat.
“Siapa dulu ustadznya?” jawab ibu Farida sambil tertawa yang diikuti oleh tertawa ceria para peserta penataran muballighat itu. Dan tiba-tiba ada seorang ibu yang nyeletuk berbicara dengan logat Betawi kental, “ngerayu nih ye?”
“Baik. Dalil pertama sudah dijawab oleh Ustadzah Farida dari Tebet. Untuk menjawab dalil yang kedua, kami panggil ustadzah yang tadi bertanya, dari Condet. “Ya, Ibu Tuti. Silahkan Bu, dalil kedua ini apa?” begitu Tanya kami.
“Hadis mauquf, Ustadz,” jawabnya singkat.“ Jelasnya, “begitu pinta kemi kepadanya. “Bahwa Sahabat Ubay bin Ka’ab mengimami shalat tarawih dua puluh rakaat itu adalah sebuah Hadis mauquf. Dan Hadis mauquf itu statusnya sama dengan Hadis marfu’ atau Hadis Nabi Saw apabila hal itu tidak berkaitan dengan masalah ijtihadiyah. Sedangkan shalat tarawih tidak termasuk masalah ijtihadiyah.”
“Bagus, bagus, bagus. Jawaban Ibu Tuti benar seratus prosen. Nilai seratus untuk Ibu Tuti. Ternyata ibu-ibu ini hebat juga,” kata kami yang disambut senyum-senyum oleh ibu-ibu itu.
“Baik. Sekarang apa dalil ketiga untuk shalat tarawih dua puluh rakaat. Siapa dapat menjawab?” Tanya kami kepada ibu-ibu. “Saya Pak Ustadz,” jawab seorang ibu yang duduk di deretan bangku sebelah kanan. “Namanya siapa Bu?” Tanya kami.
“Ibu Ita, dari Kebayoran Baru,” jawabnya singkat. “Ya, jawaban ibu?” Tanya kami lagi. Ijma’ Sahabat, Pak Ustadz,” katanya. “Luar bisaa Ibu Ita, jawaban Ibu benar seratus prosen. Waduh kalau para muballighat pinter-pinter seperti yang ada di sini, kiai-kiai bisa enggak laku,” kata kemi diikuti tertawa ibu-ibu tadi.
“Jadi ibu-ibu yang pinter-pinter. Shalat tarawih dua puluh rakaat itu bukan bid’ah, karena ada dalilnya, baik Hadis Nabi Saw, Hadis mauquf yang statusnya sama dengan Hadis Nabi Saw, maupun Ijma’ atau kesepakatan para Sahabat Nabi Saw.”
“Pak Ustadz, ada yang mengatakan bahwa Khalifah Umar bin al-Khattab mengatakan bahwa tarawih dua puluh rakaat itu bid’ah yang paling baik. Bagaimana itu?” Tanya seorang ibu yang memakai baju biru. “Benar Ibu, riwayat itu shahih, terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari.[13] Namun maksud bid’ah di situ bukan ibadah yang tidak ada dalilnya, tetapi maksudnya adalah bid’ah dalam arti kebahasaan. Yaitu bahwa shalat tarawih dengan berjama’ah itu merupakan sesuatu yang baru, kerena tarawih dengan berjamaah itu sudah dianggap tidak pernah ada. Nabi Saw hanya melakukannya dua kali atau tiga kali, kemudian tidak melakukannya dengan berjamaah. Maka tarawih dengan berjamaah itu sudah dianggap tidak ada pada masa Nabi Saw.
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan awal masa Khalifah Umar juga tidak pernah shalat tarawih dilakukan dengan berjamaah. Baru pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab itulah shalat tarawih dilaksanakan dengan berjamaah. Maka hal itu, ditinjau dari sudut kebahasaan, adalah sesuatu yang baru yang dahulunya tidak ada. Dan itulah arti bid’ah dari sudut kebahasaan.
KH. Ahmad Dahlan Shalat Tarawih 20 Rakaat
Jadi shalat tarawih dua puluh rakaat dengan berjamaah bukanlah bid’ah, melainkan merupakan Sunnah Nabi Saw yang telah dilakukan dan hal itu diterima oleh ummat Islam sejak masa Khalifah Umar bin al-Khattab sampai hari ini. Dan khususnya di Masjidil Haram Makkah, shalat tarawih dua puluh rakaat dengan berjamaah dilakukan sejak masa Khalifah Umar bin al-Khattab, kurang lebih tahun 15 H, sampai dengan masa Raja Fahd bin Abd al-Aziz tahun 1424 H. ini.
Di Indonesia, mayoritas umat Islam juga shalat tarawih dua puluh rakaat, baik umat Islam secara umum maupun tokoh-tokoh ulamanya. Pendiri Perserikatan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, shalat tarawih dua puluh rakaat. Begitu pula pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Hadrat al-Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari, juga shalat tarawih dua puluh rakaat.[14]
Dan kenyataannya bahwa shalat tarawih dua puluh rakaat itu telah dilakukan dan diterima oleh umat Islam sejak masa Sahabat sampai masa kini, yang dalam ilmu Hadis disebut dengan talaqqi al-ummah bi al-qabul, dan hal itu merupakan suatu faktor yang memperkuat otentitas Hadis shalat tarawih dua puluh rakaat itu.[15]
*Sumber: Buku HADIS-HADIS BERMASALAH karya Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA., Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah Ciputat Jakarta. Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Dewan Penasehat IKAPETE (Ikatan Alumni Pesantren Tebuireng) Pusat.
Baca Selengkapnya (1), (2), (3)
[1] Muslim bin al-Hajjaj, Op. Cit. I/508-510. Abu Dawud al-Sijistani, Op. Cit. II/84-100. Al-Nasai, Op. Cit. III/233-234
[2] Subhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahatuh, Dar al-‘Ilm li al-Malayin, Beirut, 1979, hal. 266
[3] Al-Dzahabi, Op. Cit. I.48
[4] Syeikh Ismail al-Anshari, Tashhih Hadits Shalat al-Tarawih ‘Isyrina Rak’at wal al-Radd ‘ala al-Albani fi Tadh’if, Maktabah al-Imam al-Syafi’I, Riyadh, 1408 H.1988 M. hal. 7
[5] Ibid, hal. 11-27
[6] Al-Bukhari. Op. Cit. I/342. Muslim bin al-Hajjaj, Op. Cit. I/523-524. Abu Dawud al-Sijistani. Op. Cit. 102-104. Muhammad Ismail al-Shana’I, Subul al-Salam, Dar al-Fikr, tth. II/10 menukil dari al-Baihaqi, Syeikh Ismail al-Anshari. Loc. Cit.
[7] Imam Abnu Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadh. 1418/1998; I/571
[8] Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, Editor Abdul Wahhab Abd al-Latif. Dar al-Kutub al-Haditsiyah, Cairo, 1385/1966; I/190-191
[9] Abu Dawud al-Sijistani, Op. Cit. I/677-678. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasai, dan Ibnu Majah
[10] Abd Wahhab Abd al-Latif (Editor) dalam Malik bin Anas. Loc. Cit. Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, Editor Dr. Abdullah al-Turki dan Dr. Abd. Al-Fatah Muhammad al-Hulluw, Dar Alam al-Kutub, Riyadh. 1417/1997. II/604
[11] Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah, Editor Abd al-Rahman Muhammad Qasimm, Wazarah al-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa al-Da’wah wa al-Irsyadm Riyadh. 1316/1995, XXIII/112
[12] Al-Tirmidzi, Op. Cit. V/188
[13] Al-Bukhari, Op. Cit. I/342
[14] Keterangan bahwa KH. Ahmad Dahlan shalat tarawih dua puluh rakaat , kami peroleh dari seorang kawan anggota Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan juga salah seorang Pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA). Sedangkan keterangan tentang Hadrat al-Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari shalat tarawih dua puluh rakaat kami peroleh dari keterangan-keterangan santri beliau yang menjadi guru-guru kami di Pesantren Tebuireng Jombang.
[15] Syeikh Ismail al-Anshari, Op. Cit. h. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar