Senin, 05 September 2011

Metode Istimbat Hukum Imam Syafi'i

Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi'iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi'i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.

Imam Syafi'I merupakan seorang figur penting dalam sejarah peradapan Islam, khususnya pemikiran Arab. Fiqih Imam Syafi'i berpusat pada lima sumber sebagaimana yang tertulis dalam kitabnya ‘Al Um', Pertama, al Qur'an dan Sunnah. Kedua, Ijma', jika tidak ditemukan dalam Al Qur'an dan Sunnah. Ketiga, Perkataan sebagian para shahabat dan tidak kita ketahui ada yang berbeda dari mereka. Keempat, Ikhtilaf para shahabat dan Kelima, Qiyas, dan tidak ada sumber lain selain al Qur'an dan Sunnah dalam segala sesuatu dan sesungguhnya ilmu itu diambil dari yang paling atas. Hirarki sumber hukum tersebut menunjukkan urutan prioritas, artinya bahwa yang muncul belakangan senantiasa bersandar kepada sumber yang mendahuluinya. Tingkatan pertama adalah nas nas, yaitu al Qur'an dan sunnah dan selain keduanya merupakan sumber turunan dari al Qur'an dan sunnah, termasuk ijma' yang tidak mungkin keluar dari keduanya.

Oleh karena itu Imam Syafi'i tidak sekedar mendasarkan sunnah pada al Qur'an, tetapi juga berupaya meletakkan asumsi dasar bahwa sunnah adalah bagian organik dalam struktur al Qur'an ditinjau dari pengertian semantiknya. Karena al Qur'an dan Sunnah menjadi struktur organik semantik, maka syafi'I pun dapat membangun ijma' atas dasar struktur tersebut hingga menjadi teks tasyri' yang memperleh signifikasinya dari pengertian teks yang tersusun dari al Qur'an dan sunnah. Sumber ke empat dalam fiqih Imam Syafi'i adalah qiyas yang juga diambil dari teks yang tersusun dari ke tiga dasar sebelumnya.


1. Al Qur'an dan Sunnah

Para ulama' setelah Syafi'i menyebutkan al Kitab sebagai sumber hukum Islam pertama dan sunnah sebagai sumber kedua setelah al kitab, begitu juga sebelum Imam Syafi'i, seperti Imam Abu Hanifah yang menyetujui bahwa dalam pengambilan hukum pertama harus dari al kitab, kemudian kalau tidak diperoleh, baru mengambil dari sunnah. Sama halnya juga dengan Mu'az bin Jabal ketika ditanya oleh nabi: "Dengan apa kamu memutuskan sesuatu?", kemudian jawabnya: "Saya memutuskan sesuatu dengan Kitab Allah. Jika tidak didapati di dalamnya maka dengan sunnah rosulullah, dan jika tidak didapatkan lagi maka saya berijtihad dengan akal.

Syafi'i meletakkan sunnah sejajar dengan al Qur'an dalam hal sebagai hujjah karena sunnah juga berasal dari wahyu. Syafi'i tidak menyamakan al Qur'an dan sunnah dalam segala aspek, menurutnya perbedaannya paling tidak bahwa al Qur'an mutawatir dan merupakan ibadah bagi yang membacanya sedangkan kebanyakan sunnah tidak mutawatir juga membacanya tidak dinilai pahala. Kedua, al Qur'an adalah kalam Allah, sedangkan sunnah adalah perkataan nabi SAW. Syafi'i juga menjelaskan bahwa sunnah tidak semartabat dengan al Qur'an dalam masalah ‘aqidah.


Al Qur'an

Syafi'i tidak memberikan batasan definitif bagi al Qur'an, berdasarkan berbagai uraiannya, para pengikutnyalah yang memberikan definisi terhadap al Qur'an. Misalnya definisi yang diungkapkan Taj Al Din Al Subki, bahwa al Qur'an adalah lafadz yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai mu'jizat dan membacanya merupakan ibadah.

Menurut Syafi'i al Qur'an itu maknan dan lafdzon. Seluruh al Qur'an terdiri atas bahasa Arab, tidak satu katapun di dalamnya yang bukan bahasa Arab. Maka sejalan dengan itu ia mengatakan bahwa setiap umat Islam diharuskan mempelajari bahasa Arab sedapat mungkin (Mabalagahu juhduh) sehingga ia dapat mengucapkan syahadat, membaca al Qur'an, dan mengucapkan dzikir. Tuntutan itu merupakan fardhu ‘ain yang berlaku secara umum, sedangkan penguasaan bahasa Arab secara mendalam diwajibkan secara terbatas (fardhu kifayah) atas para ulama'. Syafi'i menekankan pentingnya penguasaan bahasa Arab karena tidak mungkin bisa memahami kandungan al Qur'an tanpa penguasaan terhadap bahasa Arab.

Dengan memperhatikan berbagai hal tentang hubungan ungkapan dengan maknanya, Syafi'i menegaskan bahwa di dalam al Qur'an terdapat lafadz ‘am, khas, muthlaq, muqoyyad, haqiqah, majaz, musytarak, mujmal, mubayyan, dan sebagainya.

Sunnah

Meskipun Syafi'i tidak mengemukakan rumusan dalam bentuk definisi dan batasan sunnah, dapat diketahui dengan jelas sunnah menurut Syafi'i yaitu perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada nabi SAW. Secara umum, batasan seperti ini diterima oleh para ulama' yang datang kemudian. Seorang pembaca kitab-kitab Imam Syafi'i hampir dapat memastikan bahwa penegakkan sunnah sebagai sumber hukum merupakan obsesi agenda pemikirannya, bahkan yang paling asasi. Karena itu kita tidak boleh lupa dengan signifikasi historis dari pemberian gelar nashir al Sunnah (pembela tradisi) kepadanya.

Syafi'i menegaskan bahwa sunnah merupakan hujjah yang wajib diikuti samahalnya dengan al Qur'an. Untuk mendukungnya dia mengajukan beberapa dalil, baik dalil naqli maupun dalil aqli. Sejalan dengan pandangan tentang kokohnya kedudukan sunnah, Syafi'i menegaskan bila telah ada hadits yang shohih (tsabit) dari Rosulullah SAW, maka dalil dalil berupa perkataan orang lain tidak diperlukan lagi. Jadi bila seseorang telah menemukan hadits shohih, ia tidak lagi mempunyai pilihan kecuali menerima dan dan mengikutinya. Syafi'i mengatakan "Tidak benar, kalau sesuatu (dalam hal ini dunnah) suatu saat dianggap sebagai hujjah tetapi pada kali lainnya tidak".

Tentang hubungan antara sunnah dengan al Qur'an, Syafi'i mengemukakan bahwa fungsi sunnah sebagai berikut:

a) Sebagai penguat dalil dalil dalam al Qur'an

b) Sebagai penjelas dari ayat ayat al Qur'an yang masih global

c) Sebagai tambahan; artinya mengatur hukum yang belum diatur dalam al Qur'an


Syarat syarat penerimaan sunnah

Syafi'i membagi hadits menjadi dua, yaitu kabar ‘ammah (hadits mutawatir) dan kabar khashah (hadits ahad). Ia memandang hadits mutawatir itu pasti, sehingga hadits tersebut mutlak harus diterima sebagai dalil. Akan tetapi hadits ahad hanya wajib diamalkan apabila hadits tersebut shohih. Pada pokoknya, persyaratan yang ditetapkan oleh Syafi'i agar suatu hadits dapat diamalkan sama dengan yang dikemukakan oleh para ahli hadits dan ahli ushul fiqh pada masa kemudian, yakni menyangkut tsiqoh (‘adalah dan dhobith) yang harus terpenuhi pada setiap perawi dan kesinambungan sanad yang diriwayatkannya serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam hadits tersebut.

2. Ijma'

"Ijma' adalah hujjah atas segala sesuatumua karena ijma' itu tidak mungkin salah" (Syafi'i)
(Syafi'i)

Syafi'i menyepakati bahwa ijma' merupakan hujjah agama (hujjatd din). Ijma' menurut Syafi'i adalah kesepakatan para ulama' pada suatu masa tentang hukum syara'. Kedudukan ijma' sebagai hujjah adalah setelah al Qur'an dan sunnah. Sehingga ijma' diakhirkan dari pada al Qur'an dan sunnah. Oleh karena itu, ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah bukan merupakan hujjah dan dalam kenyataannya tidak mungkin ada ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah. Rumusan Syafi'i berbeda dengan rumusan Imam Malik yang menganggap kesepakatan penduduk Madinah sebagai ijma' dan rumusan madzhab Zahiri yang membatasinya hanya pada kesepakatan para sahabat. Ijma' yang mula-mula mendapat i'tibar dari Imam Syafi'i ialah ijma sahabat dan ia menerima ijma' sebagai hujjah di tempat tak ada nash. Kemudian yang perlu di ingatkan bahwa Imam Syafi'i tidak menerima ijma' sukuti.

3. Qoul Shohaby

Qoul Shohaby ialah fatwa fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat nabi SAW, menyangkut hukum masalah masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik kitab maupun sunnah. Walaupun pada dasrnya para sahabat sama dengan umat Islam dari generasi lainnya, namun dalam banyak hal mereka mempunyai kelebihan tersendiri sehubungan dengan kebersamaannya dengan Rosulullah SAW. Mereka banyak mengetahui kondisi yang melatar belakangi turunnya (asbabun nuzul) ayat ayat tertentu. Selain itu, karena pergaulan mereka dengan Nabi SAW, maka kualitas akhlak mereka sangat tinggi, sehingga para ulama' sepakat mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua bersifat adil.
ialah fatwa fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat nabi SAW, menyangkut hukum masalah masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik kitab maupun sunnah. Walaupun pada dasrnya para sahabat sama dengan umat Islam dari generasi lainnya, namun dalam banyak hal mereka mempunyai kelebihan tersendiri sehubungan dengan kebersamaannya dengan Rosulullah SAW. Mereka banyak mengetahui kondisi yang melatar belakangi turunnya (asbabun nuzul) ayat ayat tertentu. Selain itu, karena pergaulan mereka dengan Nabi SAW, maka kualitas akhlak mereka sangat tinggi, sehingga para ulama' sepakat mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua bersifat adil.

Pada sebagian kitab kitab ushul dari madzhab syafi'i menyatakan bahwa imam mereka (imam Syafi'i) mengambil qoul shahaby dalam madzhab lamanya, dan tidak menggunakannya dalam madzhab barunya. Tetapi dalam kitabnya "Risalah" bahwasannya imam Syafi'i mengambil qoul shohaby. Oleh karena itu telah jelas bahwa imam Syafi'i menggunakan qoul shohaby sebagai hujjah baik dalam madzhab lamanya maupun madzhab barunya. Imam Syafi'i membagi qoul shohaby menjadi tiga:

a) Pendapat yang memperoleh kesepakatan (ijma') di kalangan mereka. Ini jelas mengikat dan harus dijadikan hujjah.

b) Pendapat yang beragam dan tidak mencapai kesepakatan. Tentang ini, menurut Syafi'i harus dilakukan tarjih dengan mempedomani dalil dalil dari al Qur'an dan sunnah. Yang harus diambil ialah pendapat yang sesuai dengan kitab, sunnah, atau ijma'.

c) Pendapat yang dikeluarkan oleh seorang sahabat saja tanpa dukungan ataupun bantahan dari sahabat lainnya. Mengenai pendapat ini dalam kitabnya "Risalah", Syafi'i mengatakan bahwa ia mendapatkan dari ahli ilmu ada yang mengambilnya dan ada yang tidak mengambilnya. Ia mengambilnya jika tidak ditemukan dalam al Kitab, sunnah, maupun ijma'.

Penggunakan qoul shohaby sebagai hujjah oleh Syafi'i dapat dijumpai di beberapa kitabnya, seperti ketika berbicara peperangan melawan kaum musyrik, ia mengatakan bahwa orang yang bersembunyi di bawah biara tidak boleh dibunuh karena mengikuti perkataan Abu bakar. Ia mengatakan:" kami mengatakan ini hanyalah karena ittiba' (mengikuti pendapat Abu bakar), bukan berdasarkan qiyas.



4. Qiyas

Imam Syafi'i adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar qiyas. Para fuqaha sebelumnya membahas tentang ar-Ra'yu tanpa menentukan batas-batasnya dan dasar-dasar penggunaannya, tanpa menentukan norma-norma Ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih.

Imam Syafi'i membuat kaedah kaedah yang harus dipegangi dalam menentukan mana ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih. Ia membuat kriteria bagi istinbath-istinbath yang salah. Ia menentukan batas-batas qiyas, martabat-martabatnya, dan kekutan hukum yang ditetapkan dengan qiyas. Juga diterangkan syarat-syarat yang harus sempurna pada qiyas. Sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbath yang lain yang dipandang, kecuali qiyas. Dengan demikian Imam Syafi'i adalah orang pertama dalam menerangkan hakekat qiyas. Imam Syafi'i sendiri tidak membuat ta'rif qiyas. Akan tetapi penjelasan penjelasannya, contoh-contoh, bagian-bagian dan syarat-syarat menjelaskan hakekat qiyas, yang kemudian dibuat ta'rifnya oleh ulama' ushul.

Biarpun ulama' ushul berbeda pendapat dalam merumuskan definisi qias, namun secara implisit mereka mempunyai kesepakatan terhadap rukun rukun qiyas. Hal ini karena definisi yang berbeda tersebut tetap menekankan pada empat unsur pembentuk qiyas, yaitu kasus yang ditetapkan oleh nash (ashl), kasus yang baru akan ditentukan hukumnya (far'u), sebab hkum ('illat), dan hukum yang telah ditentukan oleh nash (hukm ashl). Ulama' ushul kemudian memberikan syarat syarat terhadap masing masing unsur qiyas tersebut.

Pembagian Qiyas

Qiyas dilihat dari kekuatan 'illat yang terdapat pada far' dan ashl, menurut al-Syafi'i dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:

1. Qiyas yang iillat hukum cabangnya (far') lebih kuat daripada iillat pada hukum ashl. Qiyas ini, oleh ulama ushul figh Syafi'iyah disebut sebagai qiyas awlawi. Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan "ah". Keharaman pada perbuatan memukul lebih kuat daripada kaharaman ucapan "ah", karena sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari yang terdapat pada ucapan "ah".

2. Qias yang illat pada far' sama keadaan dan kekuatan dengan 'illat yang pada ashl. Qiyas seperti ini, disebut oleh ulama ushul Syafi'iyyah dengan al-qiyas al-musawi. Misalnya mengqiyaskan membakar harta anak yatim kapada memakannya secara tidak patut dalam menetapkan hukum haram. Artinya membakar harta anak yatim atau memakannya secara tidak patut adalah sama-sama merusak harta anak yatim dan hukumnya sama-sama haram.

3. Qiyas yang illat hukum cabangnya (far') lebih lemah dibamdingkan dengan illat hukum ashl. Qiyas seperti ini, disebut dengan qiyas al-adna, seperti mengqiyaskan apel dengan gandum dalam berlakunya riba fadhl, mengandung illat yang sama, yaitu sama-sama makanan. Memperlakukan riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum karena illat lebih kuat.




Istihsan

Dalam pembahasan tentang isthsan sebagai salah satu dalil mukhtalaf fih (yang tidak disepakati), nama Syafi'i selalu tampil dengan penolakannya yang tegas terhadap istihsan sebagai dalil hukum. Sikap itu dinyatakan dalam dalam sebuah kitabnya ibthal al Istihsan yang kemudian dimasukkan sebagai bagian dari kitab induknya, al Umm.

Mengenai defisi istihsan, para ulama' berbeda beda dalam memberikan ta'rif istihsan. Istihsan di kalangan Hanafiyah ialah seperti yang diterangkan al karakhi, yaitu berpalingnya mujtahid dari menetapkan hukum pada sesuatu masalah dengan; seperti hukum yang telah ditetapkan pada masalah masalah yang sepadan (qiyas) kepada hukum yang menyalahinya lantaran ada suatu jalan yang lebih kuat yang menghendaki beralih dari yang pertama. Sedangkan istihsan dalam pandangan Malikiyah menurut Ibnul ‘Aroby ialah beramal dari yang lebih kuat dari dalil itu.

Dalam Muwafaqot, Syatiby mengutip pendapat Ibnu ‘Aroby tentang istihsan, yaitu mengutamakan meninggalkan tuntutan suatu dalil, sebagai pengecualian dan demi kelonggaran berdasarkan adanya dalil lain yang cukup kuat menentang sebagian tuntutannya. Setelah itu ia memberikan keterangan ibnu ‘Aroby selanjutnya:

Menurut kita (Malikiyah) dan Hanafiyah, istihsan adalah mengamalkan yang terkuat diantara dua dalil. Malik dan Abu Hanifah membenarkan takhshish terhadap keumuman suatu dalil dengan dalil lain, baik berupa tunjukkan dzohir maupun makna. Atas dasar istihsan, Malik melakukan takhshish dengan mashlahah dan Abu Hanifah melakukannya dengan pendapat shohabat. Mereka berdua menerima takhshish al Qiyas dan naqdh al Illah, tetapi Syafi'i berpendapat bahwa ‘illah syara' yang telah tetap (tsabit) tidak dapat ditakhshish lagi.

Alasan alasan Syafi'i menolak istihsan:

a) Firman Allah SWT dalam surat al Qiyamah ayat 26:

"'‰ß™Ãœ ß8uŽøIムbr& x`»|¡RM}$# =|¡øts†r&

Mengambil Istihsan sebagai hujjah agama artinya tidak berhukum dengan nash. Makna "suda" pada ayat di atas ialah keaadaan tidak terikat oleh perintah dan larangan. Orang yang melakukan istihsan berarti dalam keadaan "suda", yaitu menetapkan hukum dengan menyalahi al Qur'an dan sunnah.

b) Melakukan istihsan berarti menentang ayat ayat al Qur'an yang memerintahkan agar mengikuti wahyu dan menetapkan hukum sesuai dengan kebenaran (al haq) yang diturunkan Allah dan mengikuti hawa nafsu.

c) Rosulullah mengingkari hukum yang diterapkan shohabat yang mendasarkan dengan istihsan, yaitu mereka membunuh laki laki yang melekat pada pohon.

d) Istihsan adalah menetapkan hukum berdasar maslahah. Jika maslahah itu sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman dalam istihsan adalan maslahah menurut para ulama'.

e) Rosulullah SAW ketika menghukumi persoalan yang belum ada dalam al Qur'an tidak menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu.


Kalau kita lihat dari pengertian qiyas menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, bahwa istihsan yang dimaksud dalam madzhab hanafi dan maliki tidaklah sama dengan istihsan yang ditentang oleh Imam Syafi'i. Tentu tidaklah benar kalau menuduh Imam Malik dan Abu Hanifah menetapkan hukum tanpa didukung oleh dalil yang sah menurut syara'. Sebagian literatur mengatakan bahwa Syafi'i sendiri pernah menggunakan istihsan dalam ijtihadnya dalam beberapa masalah seperti yang dilakukan Hanafi dan maliki. Misalnya pembatasan hak syuf'ah (hak beli pertama) selama 3 hari, pemotongan tangan kiri pencuri dan lain lain.



KESIMPULAN

Sumber hukum yang dipegangi Imam Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah Al Qur'an, Sunnah, Ijma', Qoul Shohaby, dan Qiyas. Urutan tersebut bersifat hierarki, artinya sumber hukum yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Sementara mengenai istihsan yang digunakan oleh Imam Malik dan Abu Hanifah, dalam beberapa hal Imam Syafi'i juga menggunakannya. Dalam hal istihsan hanya terjadi perbedaan istilah saja. Ternyata ostihsan yang ditentang Syafi'i, bukan istihsan yang dipakai oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, melainkan penggunaan ro'yu yang liar dalam penetapan hukum.



Maroji'

Muhammad Abu Zahro, Tarikh Al Madzahib al Fiqhiyyah.

Muhammad bin Idris Asy Syafi'i, Risalah.

---------------------, Al Umm.

Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi'i.

Muhammad Hasby as Shiddiqie, Pokok Pokok Pegangan Imam Madzhab.

Muhammad Roy, Ushul Fiqh Madzhab Aris Toteles.

Nasrun Haroen dkk, Ensiklopedi Hukum Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar