Kejahatan Wahabi Yang Merombak Kitab al-Washiyyah Karya Imam Abu Hanifah
Tradisi buruk kaum Musyabbihah dalam merombak
karya para ulama Ahlussunnah terus turun-temurun dan berlangsung hingga
sekarang. Kaum Wahhabiyyah di masa sekarang, yang notabene kaum Musyabbihah
juga telah melakukan perubahan yang sangat fatal dalam salah satu karya al-Imâm
Abu Hanifah berjudul al-Washiyyah. Dalam Kitab berjudul al Washiyyah
yang merupakan risalah akidah Ahlussunnah karya Imam agung, Abu Hanifah an
Nu’man ibn Tsabit al Kufiyy (w 150 H), beliau menuliskan :
استوى على العرش من غير أن يكون احتياج إليه
واستقرار عليه
(Artinya; Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa membutuhkan kepada
arsy itu sendiri dan tanpa bertempat di atasnya).
Perhatikan manuskrip
kitab al Washiyyah ini:
Namun dalam cetakan
kaum Wahabi tulisan Imam Abu Hanifah tersebut dirubah menjadi:
استوى على العرش من غير أن يكون احتياج إليه
واستقر عليه
Maknanya berubah total
menjadi: ”Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa membutuhkan kepada
arsy, dan Dia bertempat di atasnya”.
Anda perhatikan dengan seksama cetakan kaum Wahabi berikut ini:
Padahal, sama sekali
tidak bisa diterima oleh akal sehat, mengatakan bahwa Allah tidak membutuhkan
kepada arsy, namun pada saat yang sama juga mengatakan bahwa Allah bertempat di
atas arsy.
Yang paling
mengherankan ialah bahwa dalam buku cetakan mereka ini, manuskrip risalah al-Imâm
Abu Hanifah tersebut mereka sertakan pula. Dengan demikian, baik disadari oleh
mereka atau tanpa disadari, mereka sendiri yang telah membuka ”kedok” dan
“kejahatan besar” yang ada pada diri mereka, karena bagi yang membaca buku ini
akan melihat dengan sangat jelas kejahatan tersebut.
Anda tidak perlu bertanya di mana amanat ilmiah mereka? Di mana akal sehat
mereka? Dan kenapa mereka melakukan ini? Karena sebenarnya itulah tradisi
mereka. Bahkan sebagian kaum Musyabbihah mengatakan bahwa berbohong itu
dihalalkan jika untuk tujuan mengajarkan akidah tasybîh mereka. A’ûdzu
Billâh. Inilah tradisi dan ajaran yang mereka warisi dari “Imam” mereka, “Syaikh
al-Islâm” mereka; yaitu Ahmad ibn Taimiyah, seorang yang seringkali ketika
mengungkapkan kesesatan-kesesatannya lalu ia akan mengatakan bahwa hal itu
semua memiliki dalil dan dasar dari atsar-atsar para ulama Salaf saleh
terdahulu, padahal sama sekali tidak ada. Misalkan ketika Ibn Taimiyah
menuliskan bahwa “Jenis alam ini Qadim; tidak memiliki permulaan”, atau ketika
menuliskan bahwa “Neraka akan punah”, atau menurutnya “Perjalanan (as-Safar)
untuk ziarah ke makam Rasulullah di Madinah adalah perjalanan maksiat”, atau
menurutnya “Allah memiliki bentuk dan ukuran”, serta berbagai kesesatan
lainnya, ia mengatakan bahwa keyakinan itu semua memiliki dasar dalam Islam,
atau ia berkata bahwa perkara itu semua memiliki atsar dari para ulama
Salaf saleh terdahulu, baik dari kalangan sahabat maupun dari kalangan tabi’in,
padahal itu semua adalah bohong besar. Kebiasaan Ibn Taimiyah ini sebagaimana
dinyatakan oleh muridnya sendiri; adz-Dzahabi dalam dua risalah yang ia
tulisnya sebagai nasehat atas Ibn Taimiyah, yang pertama an-Nashîhah
adz-Dzhabiyyah dan yang kedua Bayân Zaghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab.
Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan
berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan
kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli bid’ah,
untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik berkata
demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan seterusnya. Padahal
sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan belaka.
Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya
Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu
bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun
yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak
disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki
bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang
dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai
suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang
menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali
al-Qari’, h. 30-31).
Masih dalam al-Fiqh
al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:
وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ
وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.“Dan kelak
orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka
sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa
sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya
jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada
tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah,
belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh
al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).
Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian
tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah
dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut di dalam
surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh dikatakan
bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan
tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang
mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.
Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam
al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata:
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا
كيف ولا تشبيه ولا جهة حق“Bertemu dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal
itu tanpa dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh
al-Akbar dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).
Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan:
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ
عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ
وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا
لَمَا قَدَرَ
عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى
الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ
ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi
Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut,
juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang
memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada
makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya
maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan
jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri.
Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy,
lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan
arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya,
berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci
dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam
kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h.
2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).
Dalam al-Fiqh
al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ
الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ
شَىءٍ.“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah
Allah? Jawab: Dia
Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya
ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan
sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat
al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya
dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Pada bagian lain dalam
kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
“Allah ada tanpa
permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun
dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia
ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka
barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di
bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang
yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di
bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).
Wa Allah A’lam Bi ash
Shawab,
Wal Hamdu Lillah Rabb
al Alamin,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar